Dia yang Murung

Telepon genggam ini berdering. Kusahuti salam dari seberang sana. Percakapan dimulai pada topik melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dari sekolah menengah atas. Kusebutkan satu dua alasan agar diskusi dilanjutkan di tempat yang memungkinkan percakapan menjadi ringan dan terbuka.

Malam tiba. Sang Muda bersama ibundanya tiba. Diskusi dimulai dengan topik yang sudah disodorkan sejak pagi hari. Suatu kebahagiaan menyaksikan dan mengetahui bahwa seorang gadis cantik berusia 22 tahun mau menempuh pendidikan tinggi setelah mengetahui bahwa mereka yang dia dukung tak ada semangat bersekolah. Kecewanya terlihat amat jelas. Waktunya telah terbuang begitu saja untuk mendapatkan sokongan ekonomi keluarga hingga satu unit rumah berdiri secara baik dalam ukuran orang sekampung. Ia sungguh -sungguh kecewa. Murung beberapa saat.

Kusuntikkan motivasi melanjutkan pendidikannya. “Money!” Begitu katanya. Ya. Uang menjadi masalahnya kini karena ia telah meninggalkan pekerjaannya setelah rumah selesai dibangun, ia memilih pulang untuk melepas kerinduan pada orang tua dan kerabatnya di kampung.

Dalam pergumulan akan masa depannya, ia akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan walau telah mencapai umur 22 tahun. Sekali lagi, umur tidak harus menjadi pembatas minat dan motivasi kuliah.

Aku mencoba melakukan gugling. Kampus terdekat untuk minatnya berada di Denpasar-Bali. “Money, Ba’i!” Ia memberikan urai hatinya tentang kecemasan pada satu titik bersama. Uang Kucarikan pendekatan lain yang akan menolongnya untuk kembali pada minatnya itu. Kusarankan untuk mengambil Pendidikan Bahasa Inggris, walau tidak secara langsung bersentuhan dengan minatnya tetapi out put program studi ini sangat bermanfaat di masa ini dan masa depan. Wajahnya yang cantik kembali ceria, ibundanya terlihat senang dan tenang dengan gejolak hati berkelindang pada biaya. Sang Ibu merasa tanggung jawab mereka sebagai orang tua akan terasa berat karena si sulung mendekati masa akhir tugas di kampusnya. Biaya makin besar. Pada sisi yang sama lelaki sulung ogah bersekolah walau jarak ke sekolah hanya 100-an meter.

Ya, dia yang murung akhirnya tersenyum indah. Wajah cantiknya makin cantik ketika mengetahui ibundanya pun akhirnya setuju untuk memberikan keluasan padanya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Beberapa gelas kopi dan teh yang dihidangkan pada kami untuk diskusi ini kami seruput hingga tuntas. Lalu kami kembali dalam canda sebagai penghias akhir diskusi.

Koro’oto-Nekmese, 12 April 2022

herobani68@gmail.com

Published by Heronimus Bani

Guru, membaca dan menulis mana suka

Design a site like this with WordPress.com
Get started