Balada Gedung Sekolah

Hari ini (25/09/20) saya kembali ke sekolah sebagaimana biasanya para guru pun kembali ke sekolah, tanpa siswa dalam jumlah besar. Hany ada 2 kelompok yang boleh ke sekolah hari ini. Satu kelompok kecil Kelas 2, dan satu kelompok kecil kelas 5. Lainnya belajar di Titik Kumpul dan Kunjung. Rasanya sejak pandemi covid-19 Maret 2020 dimana sekolah-seklah wajib menerapkan BdR, gedung (rumah) sekolah bagai “yatim” tanpa ayah.

Keriangan dan sedikit sering keributan pada anak-anak hilang di lingkungan sekolah. Sepi. Hening. Saya menebak-nebak saja, bahwa seandainya (tentu tidak boleh berandai-andai), BdR yang sekarang ini berlanjut dan berlanjut, bukankah gedung sekolah itu akan berwajah yatim? (aaz: anhuum koem ~ bagai yatim).

Saya membuat beberapa foto dari sudut berbeda lalu saya tulis bait puisi berikut yang saya tempatkan di akun Grup FB Tateut Pah dan halaman FB Heronimus Bani.

Balada Gedung Sekolah

Pernahkah aku merengek-rengek dan memohon-mohon agar aku dibangun?
Tidak! Sekali lagi, tidak!
Pernahkan aku menolak dihuni oleh orang-orang yang membangun diriku dalam berbagai konstruksi bongkar-pasang hingga membangun baru?
Tidak! Sekali lagi, tidak!
Pernahkah aku mengusir anak-anak dari dalam ruangan-ruangan yang dinamakan ruang kelas dengan segala kekurangan, kelebihan aksesori pembelajaran?
Tidak! Sekali lagi, tidak!
Pernahkah anak-anak dan para orang tua atau guru berterima kasih pada satu ruang kelas dan seluruh bangunan diriku ketika mereka meninggalkan sekolah sambil bergirang karena lulus?
Tidak! Sekali lagi, tidak!
Tapi…sudah berbulan-bulan dalam tahun pandemi covid-19, hampir seluruh hari aku hanya ditengok sebentar saja oleh mereka yang menamakan diri peserta didik dan guru penggerak.

Apa salahku?
Apa dosaku?

Akh…
Mereka punya alasan, pandemi covid-19mereka punya sandaran berkerumun itu akan ada klaster barumereka punya panduan pada baiknya belajar jarak jauhmereka punya acuan pada dunia digitalisasimereka punya daya mendorong karsamereka punya gaya mengantar cara baru pembelajaran.

Katanya…
pembelajaran jarak jauh lah…
pembelajaran dengan memanfaatkan start up di dunia maya
semua siswa, guru, dan orang tua mesti sudah masuk dunia digital dengan sekali loncatan, mungkn?
Terangnya mereka yang sudah ada di ranah itumereka kaum perkotaan yang senyumnya mungkin sudah mekar, atau telah pula tertawa terpingkal sambil diskusi dengan gurunya.
Remangnya mereka yang bingung menemukan gelombang elektron pembawa bilyunan data dan informasi.
Gelapnya mereka yang sama sekali belum meraba benda itu bagai masih di zaman batu dan kayu.

Tindakan mereka …
Relaksasi aturan yang menegangkan sambil menenangkan
Ada 3M yang dikampanyekan berkali-kali 24 jam
Ada 3T yang diwujudkan bertubi menambah data mereka terpapar virus predator ini.
Ada pengumuman saban hari yang menggetarkan detak jatung lebih kencang dan mendesirkan aliran darah.
Ada pencegatan pengguna jalan raya demi menjamin kesehatan mereka.Mereka dikenai sanksi lelucon yang memalukan, menerima dan melaksanakan keputusan hakim di tepi jalan.
Mereka menyebut pembatasan sosial besar-besaran di kota-kota besar, walau ada kota yang memberi pembatasan sosial skala mikro, dan ada kota lain yang pesta sonde barenti-barenti.
Ada petugas medis yang membungkus badan saban hari selama 8 jam.
Ada petugas makam peletak nisan terakhir tanpa ritual budaya pada khalayak, berbeda perlakuan pada mereka kaum ningrat, pejabat dan tokoh.
Ada daya upaya yang terus tanpa henti menjaga kestabilan sisi-sisi kehidupan dengan menekan korban sekecil mungkin.

Lalu aku di sini,
Aku bangunan sekolah akan seperti ini pada saat ini,
Aku rumah darurat yang dibangun dengan material lokal belum tersentuh sebelum virus predator tiba, manalagi ketika dia sudah menggergaji kaum dan komunitas.

Tiba saatnya nanti…
Katanya normal baru yang entah jilid ke dua atau berlanjutsambil menunggu situasi yang memastikan bahwa mereka akan menerima antivirus si predator korona.

Aih…
Baiknya aku berdiri saja di sini, biarkan aku, bangunan berpenghuni kesan yang menelan kenangan.

Setelah menulis yang demikian ini, saya pun kembali ke dalam ruang-ruang kelas, mengabadikan dalam gambar. Lalu meminta kedua kelompok kecil itu pulang setelah menerima tugas dari guru mereka. Kami benar-benar tidak dapat melakukan apa yang disebut pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kami belum tiba di loncatan pertama pada milenim yang ketiga ini.
ha ha…

Koro’oto, 25 Sept 2020
Heronimus Bani

Published by Heronimus Bani

Guru, membaca dan menulis mana suka

One thought on “Balada Gedung Sekolah

  1. membangun pendidikan di desa membutuhkan energi tersendiri karena memiliki keunikannya tersendiri

    Like

Comments are closed.

Design a site like this with WordPress.com
Get started