Tuak dalam Cerita masa Kini di Rote

Bila menyebut masyarakat di Kepulauan Rote-Ndao, beberapa hal selalu terbayang. Pohon tuak (lontar) yang menghasilkan air nira manis (tuak manis). Olahannya menjadi gula cair (gula aer), padat (gula lempeng), gula semut, dan olahan beralkohol, laru gula dan sopi. Di samping itu ada kerajinan lain yaitu menenun dan pengrajin olahan perak. Kesemuanya ini merupakan profesi yang tidak selalu dicatat berdiri sendiri tetapi disiratkan dalam profesi sebagai petani.

Ketika saya tiba di desa Noanadale dalam untuk bertemu dengan teman-teman guru yang hendak menyiapkan satu unit PAUD di samping SD GMIT Noanadale, saya sempat bercerita dengan bapak Balukh tentang pohon tuak (lontar). Saya bertanya, “Apakah pohon-pohon tuak ini tumbuh sendiri?”

“Dulu orang tua dong tanam?” jawab bapak Balukh. “Sekarang ana muda dong sonde iris tuak. Jadi sonde ada gula.” bapak Balukh melanjutkan.

Dua foto lainnya bersumber dari Jakarta News

Kabar dan cerita-cerita sekitar budaya iris tuak selama beratus tahun sebagai ketrampilan pada masyarakat Rote rupanya mulai perlahan pudar. Saya mencoba bertanya-tanya pada beberapa orang ketika mengetahui akan masalah ini. Adik saya yang bertugas di Rote hampir 12 tahun rupanya ikut merasakan adanya perubahan sikap pada masyarakat (jemaat) zaman ini. Sikap mereka terhadap usaha dan kerja yang bersumber dari pohon tuak.

Padahal olahan dari pohon tuak sangat variatif. Selain gula cair, gula padat, gula semut dan ikutan lainnya, masih ada usaha lain yang memanfaatkan daun lontar yaitu anyaman, khususnya pembuatan ember yang khas untuk menampung air nira tuak, tikar, dan banyak produk anyaman dengan bahan dasar daun tuak (lontar). Alat musik sasando pun berbahan dasar daun tuak.

Foto pertama, dokumen pribadi, foto lainnya diambil secara istimewa dari Gugel

Saya mulai bertanya tentang masa depan pohon tuak. Apakah pohon tuak yang sekarang masih akan bertahan hidup? Dapatkah pohon tuak di Nusa Lote dibudidayakan?

Menurut saya, pohon tuak dapat dibudidayakan. Tentu saja dengan menanam lagi sebanyak mungkin untuk peremajaan. Kiranya dimanapun masyarakat menggunakan hasil dari pohon tuak, mengapa mereka tidak menanamnya? Nah, orang pun dapat bertanya balik pada saya, apa perlunya menanam pohon tuak? Pohon itu dapat tumbuh sendiri dimana pun.

Benar! Pohon tuak dapat tumbuh sendiri dimanapun. Itu bukan hal baru terbaharukan. Hal itu sudah ada dalam pengetahuan masyarakat yang menganggap pohon tuak sebagai “sumber kehidupan”. Mengapa tidak membudidayakannya? Bukankah masyarakat yang hidup dengan salah satu sumber kehidupannya itu berasal dari pohon tuak, akan mempunyai peluang ekowisata?https://www.indonesia.go.id/ragam/komoditas/kebudayaan/di-ntt-lontar-disebut-sebagai-pohon-al-hayat

Mari mencoba menelisik teramat sedikit dari pendapat saya. Jika orang menanam pohon tuak dalam area tertentu. Katakanlah 2 atau3 hektar saja. Pohon-pohon tuak itu ditanam secara berbaris. Barisan pohon tuak itu didekat-dekatkan. Lalu di sekitar dibangun minimal satu homestay. Sementara masyarakat pengolah hasil pohon tuak menghuni area sekitar. Mungkin beberapa kepala keluarga menjadi pilot project. Ketika musimnya tiba untuk mengurus mayang pohon tuak, tidakkah itu menjadi perhatian para pelancong? Satu paket wisata sekaligus di satu area yang mungkin dapat disebutkan namanya sebagai Taman Wisata Tuak Manis.

Mulai dari membersihkan mayang, mengiris, menadahkan air mayang, pindah dari satu pohon ke pohon berikutnya. Air mayang berupa tuak manis itu mulai diolah secara tradisional, dan seterusnya memberikan sentuhan-sentuhan baru pada produk lokal itu. Hasil akhir tentu berbeda. Sekali di satu lokasi ekowisata, telah menghasilkan beberapa hal yang sifatnya ekonomi dan sosial.

Baiklah. Saya berhenti di sini. Bukankah ide kecil seperti ini hanya angin lalu? Tapi, biarlah saya menuliskannya agar saya pun turut memberi warna dengan satu titik warna kecil saja yang sangat besar kemungkinannya untuk tidak terlihat oleh penguasa Rote-Ndao.

Terima kasih, Nusa Lote telah memberi sejumlah inspirasi pada saya untuk menulis.

Koro’oto, 9 Juli 2020

Published by Heronimus Bani

Guru, membaca dan menulis mana suka

6 thoughts on “Tuak dalam Cerita masa Kini di Rote

  1. Bagus tukisannya. Ide dan usulanyg bagus.bisa ditindaklanjuti.
    Kalau di sini Tuban untuk.legen diminum segar skli. Dan tuak

    Liked by 1 person

Comments are closed.

Design a site like this with WordPress.com
Get started