Datang Tampak Muka Pulang Tanpa Pamit

Pengantar

Saya terinspirasi untuk menulis dengan judul seperti ini karena ada satu sahabat yang memasang status di story board WhatsAppnya seperti gambar di bawah ini.

Tangkapan layar dari Story Borard sahabat

Saya tidak mengetahui jumlah anggota dalam WhatsApp Group itu. Saya sempat berbincang (chatt) dengan sahabat ini dan menyampaikan bahwa saya terinspirasi untuk menulis berdasarkan apa yang ditulisnya ini. Lalu saya mencoba bertanya berapa anggota WA Group itu?

Datang Tampak Muka Pulang Tampak Belakang/Punggung

Sub judul ini sesungguhnya merupakan satu peribahasa atau ungkapan bermakna. Maknanya yaitu datang dan pulangnya seseorang di rumah orang lain (bertamu) harus dengan etika (tata sopan santun). Sederhananya, ketika bertamu, baiklah menyapa, menyalami; dan ketika pulang, baiklah pula untuk berpamitan. Ini tata kesopanan dalam budaya yang khas pada etnis dan bangsa mana pun yang memahami makna kehidupan bersama dalam satu komunitas. Hal ini harus terjadi mengingat setiap orang dalam komunitas merupakan anggota yang saling menghormati, menghargai dan menempatkan anggota-anggota pada kesetaraan, pengecualian bila hal itu terjadi pada komunitas struktural yang menempatkan posisi seseorang dengan orang lainnya dalam hubungan komando.

Saya hendak menarik lebih dekat status pada story board WhatsApp sahabat saya itu. Para siswa kelas 9 telah dinyatakan lulus. Mereka keluar dari WA Group itu tanpa menyapa sesama anggota, termasuk gurunya. Padahal, ketika mereka digabungkan ke dalam WA Group itu, tentulah mereka saling menyapa. Pembentukan WA Group terjadi ketika pandemi covid-19 mendera bangsa ini. Kementerian Pendidikan, Kebudayan, Riset dan Teknologi memberikan ruang untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan pendekatan dalam jaringa (daring) dan luar jaringan (luring). Itulah sebabnya, sahabat saya ini membentuk WA Group itu karena pada saat itu berlaku program nasional belajar dari rumah. Para siswa dipastikan berada di rumah, sampai dengan izin dikeluarkan untuk kembali ke sekolah dalam tatap muka terbatas.

Menariknya, dipastikan para siswa itu telah menerima sejumlah pelajaran dengan muatan pengetahuan dan karakter. Begitu banyak karakter yang diharapkan dapat dimiliki para siswa yang implisit disampaikan para guru kepada siswanya. Karakter-karakter itu di antarnya: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan/nasionalisme, cinta tanah air/patriotisme, kepahlawanan/heroisme, cinta lingkungan, kolaborasi, dll.

Karakter yang beragam ini menyebabkan guru tak dapat secara utuh menyeluruh mengimplisitkannya dalam nyaris seluruh mata pelajaran. Akan tetapi, tiada henti-hentinya para guru akan menyampaikan secara lisan secara terus-menerus, bahkan di antaranya dilakukan dengan pendekatan patronis (contoh), karena terasa hal itu lebih baik daripada terus-menerus berbicara (omong doang) tanpa memberi keteladanan, akan diasumsikan, guru hanya bisa bicara, tetapi tidak dapat memberikan contoh perilaku sebagaimana yang diucapkannya.

Maka, ketika guru masuk ke kelas, ia akan menyapa siswa-siswinya. Mengajak mereka berdoa sebelum dan sesudah pelajaran mereka terima. Mendisiplinkan diri untuk tepat waktu, berkreasi pada materi ajar dengan menyediakan media pembelajaran yang tepat sehingga menjembatani informasi dan imajinasi siswa, sopan dalam kata, santun dalam sikap, dan lain-lain sikap dan perilaku yang menunjukkan karakter guru itu sedang mengejawantah wicara menjadi wiraga.

Lalu, ketika siswa-siswinya pulang dari sekolah tanpa pamit, besoknya sang guru akan menegur mereka. Bolos, tentu tanpa pamit, karena dipastikan tidak ikut paling kurang 2 hal di sekolah ketika akan pulang, yaitu: berdoa bersama dan menyapa (pamit).

Bagaimana jika hal itu terjadi ketika mereka dinyatakan lulus?

Siswa mana pun yang mengikuti Ujian Akhir di kelas terakhir, dipastikan ingin lulus. Ketika lulus, ia akan sangat bersukacita, bukan pada dirinya sendiri, tetapi pada orang tuanya dan guru-gurunya. Mereka akan meninggalkan sekolah dan akan memasuki sekolah baru ke satu jenjang di atasnya. Sebutlah dari Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidayah ke Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah, dan dari SMP/MTs ke Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, dan dari SMA/K/MA ke Universitas. Bukankah suatu kebanggaan dan kebahagiaan pada para guru. Sayangnya, para guru sangat sering tidak menunjukkan gimik kebahagiaan itu, tetapi mereka justru merefleksikannya, “akan jadi apakah para lulusan pada suatu hari kelak?” Itulah yang direfleksikan guru pada diri mereka ketika para siswa hasil didikannya dinyatakan lulus. Sementara para siswa bergirang dengan gaya vandalis dan berpikir hari baru telah diraih karena mereka merasa telah keluar dari “penjara” pendidikan dan pengajaran pada jenjang itu.

Saya teringat pada ibu guru Sri Rahayu yang mengomentari perlakuan berbeda mantan siswanya yang seorang dokter dengan seorang pemotor. Ia mengisahkan bagaimana siswanya disanjung karena kepintarannya. Suatu ketika siswa itu berhasil menjadi seorang dokter. Gurunya secara tidak sengaja bertemu dengan mantan siswanya yang menjadi dokter itu. Ia menyapa, tetapi sang dokter justru balik bertanya, siapa Anda? Ketika sang guru menyebutkan namanya, sang dokter bagai tidak peduli. Sebaliknya, suatu hari ia sedang kesulitan di jalan karena motornya kemasukan air. Saat itu sudah remang-remang gelap. Seseorang menyapanya dengan menyebut namanya. Sang Guru terkejut, siapakah dia. Lalu orang itu berkata bahwa ia mantan siswanya. Mantan siswanya itu bukan saja membawa motor itu untuk perbaikan, tetapi mencucinya dan mengantarkannya ke hotel pada keesokan harinya. Mantan siswanya itu masih melakukan sesuatu yang tidak diduga, ia membayar tagihan hotel tempat ibu guru Sri Rahayu menginap. Ia mengetahui bahwa mantan siswanya ini tidak amat pandai pada masa sekolah dulu, tetapi memiliki karakter terpuji saat ini.

Kisah itu diakhiri dengan simpulan seperti ini

Mari kembali ke kisah para siswa kelas 9 yang keluar dari WA Group yang dibentuk untuk kelancaran proses pembelajaran daring. Ketika mereka lulus, mereka pun bubar tanpa pamitan. Mereka yang belum sempat keluar itulah yang akhirnya berpamitan setelah diperingatkan oleh gurunya. Jumlah anggota dalam WA Group itu mencapai seratusan orang, menurut sahabat saya ini. Mereka yang sudah keluar, tidak tampak punggungnya lagi.

Melalui percakapan WhatsApp, saya bertanya, mungkinkah di darat seperti itu? Jawabannya, kesannya bahwa di dunia maya mereka begitu, sementara di darat, tidaklah demikian. Sebagai guru, tentu ada harapan agar hal kecil ini bukanlah sesuatu yang bakal menjadi-jadi di masa depan sebagaimana kisah ibu guru Sri Rahayu. Siswa yang pandai dan pintar, bahkan disanjung karena berprestasi (selalu juara 1) bukan jaminan berkarakter baik. Sebaliknya siswa yang kurang pandai dan kurang pintar, bahkan mungkin selalu mendapat perlakuan buli di sekolah oleh teman-temannya, belum tentu tidak memiliki karakter terpuji.

Pulang tanpa Pamit

Siapakah Anda yang akan bergembira bila seseorang bertamu, kemudian pulang tanpa pamit? Mungkin Anda senang, kalau yang pergi itu seseorang tamu yang mengecewakan, menjengkelkan, atau dengan kata lain, memiliki karakter buruk. Tetapi, bagaimana bila yang tanpa pamit itu siswa Anda sendiri? Anda seorang guru yang telah bersama mereka dalam satuan waktu 6 tahun (SD/MI) atau 3 tahun (SMP/MTs, SMA/MA). Apakah seorang guru atau para guru berbahagia ketika siswa-siswinya lulus, meninggalkan sekolah tanpa pamitan?

Betapa guru tidak mengharapkan untuk disalami secara berlebihan ketika lulus. Tidak ada upacara atau selebrasi seperti satu universitas melakukan wisuda para sarjana sehingga ada ruang dan peluang bertemu rektor, dekan dan lain-lain pejabat universitas di panggung wisuda. Di sana tersirat, para lulusan (wisudawan/wati) sedang pamitan. Di sekolah, ketika para siswa peserta ujian dinyatakan lulus, mereka menerima pengumuman (mungkin beramplop), lalu menyalami guru dan pergi sambil menunggu informasi untuk mengambil surat tanda tamat belajar (ijzah). Adakah di sana kesan bermakna?

Beberapa sekolah mungkin sempat melakukan “selebrasi” dengan tema perpisahan. Pada acara yang demikian ini, ada ruang dan peluang pada siswa untuk mengeksplorasi dan unjuk kebolehan yang disasarkan kepada para guru sebagai tanda terima kasih. Puisi, lagu, tarian dan mungkin hadiah kepada sekolah atau kepada guru sebagai tanda kenangan. Jika hal itu terjadi, maka frasa pepatah, pulang tampak belakang terpenuhi. Bila sebaliknya tidak ada acara yang demikian, tidakkah itu berarti para siswa telah pulang tanpa pamit?

Penutup

Tulisan ini tidak sedang memvonis karakter para siswa yang keluar dan bubar dari WA Group yang mereka bentuk untuk maksud baik, belajar melalui pendekatan PJJ/daring. Mereka keluar dari WAG itu tanpa pamit, mungkin merasa bahwa hal itu wajar saja karena tetap akan bertemu di sekolah ketika sudah diizinkan pertemuan tatap muka. Itulah sebabnya, ketika ada peringatan dari gurunya agar mereka mesti pamitan walau hanya dalam aplikasi WhatsApp, ada yang segera melakukannya.

Akhirnya, kiranya pelajaran karakter yang implisit dan panut mesti menjadi perhatian serius. Mengingatkan saja tidaklah cukup (wicara), kita mesti sampai pada meneladankan (wiraga).

Semoga tulisan ini menginspirasi. Terima kasih.

Umi Nii Baki, 1 Juli 2022
herobani68@gmail.com

Published by Heronimus Bani

Guru, membaca dan menulis mana suka

Design a site like this with WordPress.com
Get started