Pikir Tentang Item Hukum Adat Perkawinan di Desa Nekmese Amarasi Selatan

Sungguh suatu kehormatan bila duduk bersama dalam suatu urusan perkawinan sepasang kekasih. Para tetua yang ditokohkan sebagai pemangku adat dihadirkan layaknya sembahan dan junjungan yang tiada terkira. Belum lagi mereka yang kepadanya mendapatkan mandat kekuasaan. Mereka haruslah yang paling dihormati dalam ritual itu. Para muda dan siapapun sangat dilarang berjalan mondar-mandir di depan para orang tua dari pasangan kekasih, pemangku adat, dan penguasa wilayah. Sanksi berupa denda akan dikenakan kepada mereka dengan item naskuku’ … (mengebas abu pada … ). Itulah sebabnya, rasanya mengurus perkawinan adat lebih rumit dibandingkan mengurus perkawinan menurut hukum agama dan hukum positif yang berlaku di dalam negara.

Jika saya sempat, biasanya saya hampir selalu menghadiri acara-acara sebagai ritual atau upacara dalam rangka peresmian suatu perkawinan menurut hukum adat di desa. Di dalam upacara itu Kepala Urusan Pemerintahan Desa (Kaur Pemdes) memegang kendali upacara. Ia akan memegang selembar kertas yang disebut KONSEP SUSUNAN ACARA NIKAH ADAT ANTARA … DAN …. . Setiap kali upacara itu dilangsungkan konsep itulah yang dibacakan. Saya selalu berpikir, kapan konsep menjadi final sebagai suatu keputusan.

Berkali-kali bahkan sudah bertahun-tahun konsep itu dipakai dan nilai rupiah yang diterakan akan berubah-ubah. Mengapa? Karena bukan keputusan desa apalagi Peraturan Desa yang ditetapkan bersama antara Kepala Desa (Pemerintah Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang disahkan dalam Lembaran Daerah (Berita Daerah) setelah melalui mekanisme advokasi oleh Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kabupaten.

Saya mencoba membagi keseluruhan item hukum adat yang disebutkan oleh Pemerintah Desa Nekmese di Kecamatan Amarasi Selatan sebagai konsep. Keseluruhannya ada 25 butir (item) yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  • Ada 2 butir pertama dikosongkan nilainya, ditujukan kepada orang tua.
  • Ada 6 butir untuk orang tua dan keluarga.
  • Kepala Desa, Sekretariat Desa, Ketua RT, Ketua RW, Kepala Dusun, Lembaga Adat, Anggota BPD mendapatkan amplop terbanyak, 13 amplop.
  • Masyarakat yang turut menyaksikan mendapatkan 2 bagian yang tidak diisi nilainya. Biasanya dua bagian terakhir ini yaitu resepsi. Pada resepsi semua yang sudah menerima amplop pun turut mengambil bagian, bahkan mereka mendahului daripada yang seharusnya mendapatkan bagian dari dua amplop kosong itu.
  • Ada 1 butir ditujukan kepada lembaga keagamaan, beserta petugas keagamaan yang hadir. Jadi untuk lembaga keagamaan terdapat dua butir (2 amplop).

Dilihat dari jumlah butir (amplop berisi uang) yang dibacakan kemudian keluarga pihak laki-laki harus meletakkan dan menyerahkan tempat sirih-pinang (oko’mama’), maka rasanya Pemerintah desa dan perangkatnyalah yang paling berkuasa atas pengurusan itu, bukan orang tua yang mengandung,melahirkan, dan membesarkan, dan seterusnya menyekolahkan dan lain-lain yang semuanya bermula dari dalam keluarga batih.

Pengalaman ini membuat saya berpikir untuk berefleksi dengan pertanyaan-pertanyaan”

  • Apakah fungsi Orang tua dan Keluarga dalam upacara perkawinan menurut hukum adat sehingga akumulasi item/butir hukum adat hanya 8 baris saja?
  • Apakah fungsi dari Pemerinah Desa dan Perangkatnya dalam dalam upacara perkawinan menurut hukum adat sehingga akumulasi item/butir hukum adat sebanyak 13 baris?
  • Apakah Lembaga Keagamaan pernah menitipkan pesan kepada Pemerintah Desa agar memasukkan sejumlah nilai rupiah di dalam item/butir hukum adat perkawinan?
  • Mungkinkah masyarakat yang menghadiri upacara perkawinan menurut hukum adat mereka mempunyai fungsi hanya sekedar untuk makan semeja-sehidangan sehingga 2 butir terakhir dikosongkan? Padahal, pada saat makan, mereka dijemput sesudah para petinggi desa, tetua pemangku adat dan tetua keagamaan.

Nah, begitulah ide revitalisasi budaya yang digagas dan telah diberlakukan di Amarasi Selatan oleh Camat Amarasi Selatan. Perwujudannya seperti yang kelihatan pada lembaran konsep yang ditandatangani Kepala Desa setiap kali sepasang suami-isteri akan melakukan upacara peresmian perkawinan menurut hukum adat. Betapa tidak ada keputusan.

Saya membayangkan bila keputusan dibuat dalam bentuk Peraturan Desa. Mungkin akan ada point-point yang disebutkan sebagai lampiran Peraturan Desa, atau yang diturunkan menjadi Keputusan Kepala Desa dengan lampirannya.

Saya sudah sering mengingatkan agar kata konsep tidak digunakan dalam upacara resmi peresmian perkawinan menurut hukum adat. Masyarakat pun tidak melakukan protes sekalipun secara ekonomi mereka digerus.

Mari membayangkan semua posisi amplop itu atas nama jabatan yang mereka sandang. Oleh karena jabatan itulah maka tempat sirih-pinang diletakkan di hadapan mereka berisi sirih-pinang dan amplop-amplop. Hanya satu saja yang akan akan masuk ke kas desa yang disebut punu atu’ atau biaya administrasi desa yang nilainya fantastis Rp200.000.- Keputusan Kepala Desa Nomor berapa yang menyebutkan demikian? Belum ada sosialisasinya selama ini.

Jika ada seekor ternak babi hendak dijual, biaya administrasi sebesar Rp25.000; begitu pula seekor sapi akan dikenai biaya administrasi. Lalu, ketika sepasang suami-isteri meresmikan perkawinan mereka menurt hukum adat, biaya administrasinya sebesar itu. Memang nilai dan harga diri manusia berbeda dengan binatang/ternak. Lebih murah ternak daripada manusia. Mahal.

Dua puluh lima baris/butir/item yang bolehlah mungkin disebutkan sebagai pasal hukum adat perkawinan ini merupakan catatan konyol pemerintah desa Nekmese dalam rangka melegalkan pungutan atas nama hukum adat.

Kiranya Tuhan mendengarkan doa-doa mereka senantiasa. Saya ingat bahwa Kepala Desa selalu mengingatkan tentang hukum hormat dengan pemberian amplop-amplop yang ditempatkan di tempat sirih-pinang. Hukum hormat terbanyak disampaikan kepada Pemerintah. Terbukti dari akumulasi tempat sirih-pinang berisi amplop yang dihunjukkan kepada mereka. Jadi hal itu sama dengan masyarakat (dalam hal ini pasangan nikah yang diwakilan kepada pemegang tempat sirih-piang) harus berjongkok menyembah sebanyak 13 kali kepada Pemerintah Desa Nekmese dan perangkatnya, 8 kali berjongkok menyembah kepada orang tua dan keluarga pihak pengantin adat perempuan, 2 kali kepada lembaga keagamaan, dan 2 kali kepada publik.

Luar biasa, bukan? haha…

Koro’oto, 19 Oktober 2020
Heronimus Bani

Published by Heronimus Bani

Guru, membaca dan menulis mana suka

Design a site like this with WordPress.com
Get started