Seorang teman mengirim puisi malam ini melalui aplikasi messenger, bunyinya:
Angin berbisik sepi. Merayap-rayap bersama gundaku. Hati mengais pada jiwa yang sepi. Aku bertanya pada bulan, kemana tiba segala nyanyian rinduku? Kutengok alam sekelilingku…Engkau belum lagi tiba. Dan … Aku hanya tersenyum. Membungkus rindu di kabut sunyi.
Aku mencoba memberi reaksi dengan diksi malamku.
Menangislah kabut di malam hari. Saat itu burung hantupun tak sudi menghantui. Seorang janda tepekur di perapian. Menatap wajan berisi air. Di sana berenang seekor cicak. Akankah itu akan disantapnya?
Malam terus bergulir. Isinya jangkrik dalam nada minor. Sang janda tertidur. Dan perutnya pun bernyanyi pula.
Tidak ada yang memberi reaksi lebih kecuali kata-kata:
Keren
dan
Wow
Aku mencoba melanjutkan dengan diksi malamku.
Ketika hening malam membungkus kulit dagingku, rasanya ngilu di tulang punggung tak dapat kutahankan.
Ketika setetes embun menembus atap rumahku dan menitik di ubun-ubunku, rasanya aku dilempari batu hantu.
Ketika aksara berjejer di jejak petualang akta, rasanya tak mampu aku menghalau diksi.
Mari menghantar kata di akta bertahtakan tahlil.
Semoga tertular ketika katak bertelur.
Koro’oto, 29 Mei 2019